Informasi Cuti Bersama dan Lowongan Kerja

Kisah : Pengemis, Kebiasaan atau Keterpaksaan?


Bukanlah yang dinamakan kaya dengan banyaknya harta, namun kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan jiwa....


Sebuah berita biasa sempat aq baca hari ini di kompas.com. tak ada yang istimewa, hanya sekelumit kisah seorang anak manusia. Dan kehidupan yang memang tak selamanya sesuai dengan yang kita sangka.


Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep mengeluarkan fatwa haram terhadap profesi mengemis menyusul makin maraknya jumlah pengemis di kawasan tersebut dan Jawa Timur secara umum. MUI Pusat pun memberi dukungan penuh terhadap fatwa tersebut. Respons para pengemis pun beraneka ragam. Ada yang cuek, ada pula yang resah.

Mis (61) tak habis pikir dengan dikeluarkannya fatwa tersebut. Perempuan tua yang sehari-hari mengemis bersama cucunya itu dengan sederhana mempertanyakan alasan dikeluarkannya fatwa haram tersebut. Ketika diberi tahu mengenai hal tersebut, perempuan asal Pamanukan itu tampak kesal. "Yang bilang haram itu kan enggak ngerti hidup saya itu gimana. Kok bilang-bilang haram aja. Orang yang nyolong itu haram, yang makan-makan daging begituan ntu yang haram," tutur Mis kepada Kompas.com di jembatan penyeberangan Karet, Jumat (28/8).

Wajah Mis yang penuh dengan keriput tampak sabar mengipasi cucunya yang masih tertidur di lantai jembatan meski terik matahari membuat jembatan yang didominasi bahan metal itu terasa makin panas. "Kami kan cuma terima yang sukarela. Orang mau ngasih 500 ya makasih, 1.000 juga makasih, enggak ngasih juga makasih. Kok haram...," lanjut Mis.

Selanjutnya, perempuan tua yang baru lima tahun menjadi pengemis ini sibuk misuh-misuh dan menggerutu karena seorang pejalan kaki di jembatan ini sempat berhenti dan mengomentari cucunya dengan kata "kasihan".

Jadi inget postingannya Guskar, tentang zakat. Ah, alangkah indahnya jika memang semua sesuai yang kita rencanakan. Hanya saja, paham dan membuat orang lain paham adalah 2 hal yang sama sekali berbeda.

Mengemis mungkin bukan merupakan pilihan. Melainkan sebuah keterpaksaan. Namun menjadi lain soal ketika kemudian keterpaksaan itu sudah sedemikian biasanya. Atau malah menikmati keterpaksaan itu. Dalam Islam, keterpaksaan a.k.a keadaan darurat memang membolehkan yang tidak boleh. Menghalalkan apa yang haram. Dan tentu saja, tidak boleh asyik masyuk dalam kedaruratan itu. Seperti ketika keadaan darurat membolehkan kita makan bangkai, tentunya ada perasaan jijik. Ingin sesegera mungkin keluar dari kedaruratan itu. Bukannya malah menikmatinya.

bukankah Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Seorang yang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain itu akan datang pada hari kiamat dalam kondisi tidak ada secuil daging pun di wajahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar)

Beliau shollallahu’alaihiwasallam juga bersabda, “Barang siapa meminta-minta harta milik orang lain untuk memperbanyak harta, maka dia sebenarnya hanya meminta bara api. Oleh karena itu hendaknya dia diperbanyak atau dia kurangi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Barang siapa yang meminta bukan karena faktor kemiskinan itu seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, dinilai shahih oleh Syaikh Muqbil dalam Dzamm Al Mas’alah hal. 91)

catatan akhir : namun dari semua itu, yang mungkin lebih buruk lagi adalah orang yang sesungguhnya kaya,namun berjiwa pengemis. tidak pernah merasa puas. dan memang demikianlah tabiat manusia, ketika ia telah mendapatkan segunung emas, ia inginkan gunung yang kedua, dan seterusnya. jadi inget waktu dulu mau terima SK CPNS...hehehe :D



Wallohu a’lam.


Artikel terkait :

Kisah : Pengemis, Kebiasaan atau Keterpaksaan? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Rigih