beberapa manusia cenderung menikmati sepinya, dan kadang tak mau berbagi. kalau pun berbagi, maka sepi yang di bagi adalah sepi yang tak sama. sepi yang justru jauh sekali berbeda dari sepinya. seperti mantera, maka tak ada yang mengetahui maknanya kecuali sang dukun, dan mahluk ajaib bernama puisi.
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973.Kredo Puisi
Kredo puisi. sebuah tulisan yang membingungkan bagi saya. kata, mantera, asal, puisi. apa pada akhirnya sastra serupa filsafat pada masa sekarang ini?
sesuatu yang absolut, megah, mengagumkan; namun seringkali tak berguna
sekarang ini puisi sudah seperti menara gading bagi sebagian orang. indah berkilau dan menakjubkan, namun hanya bisa dipandang. titik. itu saja. barangkali inilah yang digadang-gadang si Burung Merak, WS. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong-nya.
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian
pada saat sekolah, tentu kita ingat bahwa guru bahasa indonesia kita dengan kejamnya memutilasi kata demi kata dalam sebuah puisi. mengartikan tiap bait, tiap baris, bahkan jeda! dan apa yang didapat dari sana? sebuah pemaknaan yang ngawur lagi absurd. dimana makna itu bahkan mungkin tak pernah terlintas di benak sang penulis.
sajak pendek, milik Sitor Situmorang itu terkesan sekuler. sama sekulernya seperti dunia sastra saat ini. dimana sang Sastrawan, Guru Bahasa, Murid-murid SMA, hanya sekedar bengong menyaksiakan apa yang makna dari puisi seperti itu? kemudian apa pula yang di dapat dari sajak demi sajak yang lahir dari rahim anjing a la Afrizal Malna?
Malam lebaran
Bulan di atas kuburan
entahlah...
mungkin ini sastra seperti Filsafat. sang maha guru filsafat, Socrates, berjalan di pasar, di gang-gang kecil, menemui para pemuda dan bertanya dengan pertanyaan yang membuat mereka terheran-heran namun makin sadar, bahwa tidaklah bijaksana melihat segala sesuatu dengan permenungan belaka. dan kini, filsafat hanyalah sebuah mata kuliah yang membuat para profesor dan mahasiswa berkutat dengan kata, dengan mantera.
sementara pasar, gang, penuh dengan para pencoleng.