Apa saja yang aku kabarkan padamu, lewat puisi, lewati cahaya kunang-kunang, maka itu mungkin adalah sebuah frasa yg hanyalah frasa. Atau bisa jadi kau yang memberinya makna. Hanya saja, aku berpikir, tak ada yang perlu memaknai tiaptiap huruf, kata, ataupun sepenggal resah. Meski kadang aku ingin.
Tapi tiap imaji yang tercipta, menyeruak tibatiba, hanyalah sesaat yang mungkin saja abadi, namun kelak tetap saja akan retak.
Seperti ketika aku bermain begitu riang dengan menghamburkan katakata pada berlembarlembar kertas, menghabiskan waktu yang semakin tak terasa melewatiku begitu saja. Atau seperti ketika aku terpaksa terpekur, merenungi makna dari tiap kata yang hampir saja tercipta namun tak pernah ada kecuali sekedar bermain saja dalam labirin yang sengaja kuciptakan.
seperti anak kecil kehilangan ibunya. Seperti negeri ini kehilangan hijaunya. Seperti daun kuning mencium bumi. Seperti aku merindukan bumi juga. Bumi yang mana…
Waktu pun menjalani kehidupannya seperti tergesa. Agar tak ada yang terlambat sampai ke sekolah, rumah, kantor, dan tempat sampah. Aku, engkau, dan juga seisi bumi,kadang, lupa. Atau melupakan. Atau purapura lupa. Atau tak peduli. ah…
Ada hujan bulan agustus, ada pohon kelapa di pesawat garuda, ada laron kasmaran pada mati, ada pula anjing yg meratapi gerimis logam dan bulan sabit di atas kuburan. Apa yang kau tangkap dari frasafrasa itu? Tak ada. Kecuali engkau merasa terlalu jenius hingga meski mencaricari misteri di balik itu semua. Seperti main petak umpet atau menyusun puzzle. Bisa saja itu hanyalah potongan yg tercecer dari ribuan bahkan jutaan imajinasi. Bisa saja itu anakanak kata yg tersesat dan sengaja tak ingin pulang. Bisa saja itu mantra untuk membuat orang yang mendengar dan membacanya sakit jiwa. Ya…bahkan tiap huruf menyimpan misterinya sendiri. izukalizu.
Bisa saja ilham tak datang kali ini. Maka yang kuserahkan pada guru sastra tentu saja selembar kertas bertuliskan nama dan nomor absent saja. Atau untuk menghindari kekacauan yang bukan pada tempatnya, bisa saja ku tulis ‘ilham sakit, ia tak bisa datang’. Biar saja senja memerah, biar saja gugur mahoni tiap kemarau, biar saja kayukayu hutan menjadi alas makan, biar saja setiap orang datang dan pergi, biar saja revolusi terjadi tiap hari. Biar aku mencintai…
Gelas bekas teh aku tuang air putih. Warnanya jadi kekuningan. Seperti warna logam, seperti gerimis. Dan hujan menulis haikunya sendiri.
Aku ingat aroma gerimis, tanah, dan sawah. Lalu aku juga ingat aroma sampah tiap kali berangkat kerja. Tapi yg paling kurindukan tentunya aroma senja di lapangan. Entah kenapa. Aroma yang sangat akrab, meski tiap kali datang tak pernah ku kenal. Kadang aroma tawa bocahbocah desa, aroma petir dan kilat yang menyapa mata, aroma asap jerami dan ubi kayu, aroma rumput, bola, dan tanah becek. Saat itu, saat aku kadang tak ingin melewatkan senja. Bersama mereka. Bersama aromaaroma itu. Bersama aroma rindu…
Uh…senja memang senantiasa menakjubkan… namun tetap saja aku, dan engkau tak bisa berharap setiap detik adalah senja. Setiap saat adalah remangremang.
Tapi tiap imaji yang tercipta, menyeruak tibatiba, hanyalah sesaat yang mungkin saja abadi, namun kelak tetap saja akan retak.
Seperti ketika aku bermain begitu riang dengan menghamburkan katakata pada berlembarlembar kertas, menghabiskan waktu yang semakin tak terasa melewatiku begitu saja. Atau seperti ketika aku terpaksa terpekur, merenungi makna dari tiap kata yang hampir saja tercipta namun tak pernah ada kecuali sekedar bermain saja dalam labirin yang sengaja kuciptakan.
seperti anak kecil kehilangan ibunya. Seperti negeri ini kehilangan hijaunya. Seperti daun kuning mencium bumi. Seperti aku merindukan bumi juga. Bumi yang mana…
Waktu pun menjalani kehidupannya seperti tergesa. Agar tak ada yang terlambat sampai ke sekolah, rumah, kantor, dan tempat sampah. Aku, engkau, dan juga seisi bumi,kadang, lupa. Atau melupakan. Atau purapura lupa. Atau tak peduli. ah…
Ada hujan bulan agustus, ada pohon kelapa di pesawat garuda, ada laron kasmaran pada mati, ada pula anjing yg meratapi gerimis logam dan bulan sabit di atas kuburan. Apa yang kau tangkap dari frasafrasa itu? Tak ada. Kecuali engkau merasa terlalu jenius hingga meski mencaricari misteri di balik itu semua. Seperti main petak umpet atau menyusun puzzle. Bisa saja itu hanyalah potongan yg tercecer dari ribuan bahkan jutaan imajinasi. Bisa saja itu anakanak kata yg tersesat dan sengaja tak ingin pulang. Bisa saja itu mantra untuk membuat orang yang mendengar dan membacanya sakit jiwa. Ya…bahkan tiap huruf menyimpan misterinya sendiri. izukalizu.
Bisa saja ilham tak datang kali ini. Maka yang kuserahkan pada guru sastra tentu saja selembar kertas bertuliskan nama dan nomor absent saja. Atau untuk menghindari kekacauan yang bukan pada tempatnya, bisa saja ku tulis ‘ilham sakit, ia tak bisa datang’. Biar saja senja memerah, biar saja gugur mahoni tiap kemarau, biar saja kayukayu hutan menjadi alas makan, biar saja setiap orang datang dan pergi, biar saja revolusi terjadi tiap hari. Biar aku mencintai…
Gelas bekas teh aku tuang air putih. Warnanya jadi kekuningan. Seperti warna logam, seperti gerimis. Dan hujan menulis haikunya sendiri.
Aku ingat aroma gerimis, tanah, dan sawah. Lalu aku juga ingat aroma sampah tiap kali berangkat kerja. Tapi yg paling kurindukan tentunya aroma senja di lapangan. Entah kenapa. Aroma yang sangat akrab, meski tiap kali datang tak pernah ku kenal. Kadang aroma tawa bocahbocah desa, aroma petir dan kilat yang menyapa mata, aroma asap jerami dan ubi kayu, aroma rumput, bola, dan tanah becek. Saat itu, saat aku kadang tak ingin melewatkan senja. Bersama mereka. Bersama aromaaroma itu. Bersama aroma rindu…
Uh…senja memang senantiasa menakjubkan… namun tetap saja aku, dan engkau tak bisa berharap setiap detik adalah senja. Setiap saat adalah remangremang.